Tulisan

Terbaru

Tips Mendapatkan Ide Tulisan

Suatu hari setelah melaksanakan rutinitas pagi (rapat perancangan), saya melanjutkan rutinitas lainnya nongkrong di kedai kopi. Di sini, secara kebetulan saya bertemu dengan kawan lama tampaknya sedang sarapan pagi.
Perbincangan kami pada hari itu dimulai dengan obrolan ringan, seputar pekerjaan. Kawan saya memulai pertanyaannya bagaimana kok bisa setiap hari di koran ada berita. Kalau dipikir-pikir sepertinya sulit. Dari mana idenya dan cara menuliskannya.  Lalu saya menjawab, ada saja bahannya. Setiap hari pasti ada sumber berita, kalau tidak bagaimana mungkin koran-koran bisa terbit setiap hari.
Okelah, kita tak perlu membahas bagaimana cara menulis berita, karena itu adalah persoalan teknis. Tetapi, kita coba bahas bagaimana mendapatkan ide tulisan dan bagaimana memulainya.

Masalah

Setelah merenung berhari-hari di ruangan yang sepi. Bolak-balik dari ruangan satu ke ruangan lainnya, ke kamar mandi. Tetapi, kok ide tidak muncul-muncul juga ya. Apa tema yang akan kita angkat hari ini untuk dijadikan tulisan? Kembali lagi, pergi ke taman, duduk dan merenung. Tidak juga ketemu ide. Di manakah ide itu? Ternyata ide tidak kemana-mana dia ada di situ tu.
Ide tidak akan kita dapatkan kalau hanya duduk diam, tanpa berusaha untuk keluar berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Baik itu manusia, hewan, tumbuhan dan bahkan berinteraksi dengan makhluk tidak hidup. Satu hal yang perlu dicatat, apa pun yang akan kita tulis pasti akan berhubungan dengan manusia. Kenapa, karena pembacanya adalah manusia. Misalnya ketika kita menulis tema tentang hutan, hewan langka, pasti ujung-ujungnya ada manusia. Seperti, pemburu, pembalak sudah pasti pelakunya  manusia, yang akan merasakan dampaknya juga manusia. Karena itu, sesekali berkomunikasilah dengan manusia, bertanya dan dengarkan dengan seksama. Sebab, apa pun yang akan kita tulis akan berkaitan dengan manusia.
Masih bingung juga nih, mendapatkan idenya bagaimana? Baiklah, tadi kita sudah membahas bahwa setiap tulisan pasti akan berhubungan dengan manusia. Lalu bagaimana mendapatkan idenya? Jawabannya adalah masalah. Untuk membuat tulisan kita harus mengetahui permasalahannya, pokok masalahnya, latar belakang masalahnya. Oke kita sepakati dulu, harus ada masalah. Namun, masalah yang dimaksud tidak melulu masalah yang membuat puyeng (pusing). Masalah yang dimaksud, bisa positif dan juga bisa negatif. Tulisan akan menjadi menarik kalau diawali dengan permasalahan.
Cotoh: Ribuan hektar lahan persawahan yang digarap penduduk, sekarang sudah beralih fungsi menjadi pemukiman. Dulu daerah setempat yang terkenal sebagai penghasil beras dan pengekspor beras, sekarang sudah jadi daerah pengimpor beras. Petani penggarap (buruh tani) harus kehilangan pekerjaannya sebagai petani dan terpaksa beralih ke pekerjaan lain yang sebenarnya bukan keahliannya. Bukan kah ada masalah di sini? Dari pengekspor,jadi pengimpor. Kebudayaan turun temurun sebagai petani, harus beralih ke kebudayaan lain yang baru.
Atau masalah lainnya. Suatu desa yang awalnya gelap gulita, sejak ada program listrik tenaga surya, sekarang sudah jadi desa terang berderang. Masalahnya apa? Masalahnya dulu ketika manusia di desa itu menggunakan lampu templok dan remang-remang sekarang sudah menjadi desa yang terang. Warga desa sangat bergembira. Ada berapa jiwa penduduk desa yang menikmati program listrik tenaga surya. Harus diingat masalah tidak harus negative yang bisa membuat kepala jadi pusing, tetapi juga bisa berbentuk kegembiraan.

Kumpulkan Bahan

Meskipun kita sudah berkeliling, dari ujung dunia ke dunia, jika tidak mampu menangkap persoalan/permasalahan, ide tulisan tidak akan kita temukan. Karena sebenarnya ide itu ada di mana-mana, mulai dari kita bangun tidur hingga ke tidur lagi.
Tadi kita sudah menemukan permasalahan. Seperti pada contoh, lahan persawahan berubah menjadi pemukiman. Cringgg….! Inilah ide tulisannya, tinggal bagaimana kita mengemasnya ke dalam bentuk tulisan, baik itu akan ditulis ke  bentuk opini, essai atau fiksi. Lalu bagaimana lagi? Kumpulkan bahan.
Setelah kita menemukan permsalahan, tugas kita adalah mengumpulkan bahan. (Bahan untuk tulisan lho, bukan bahan bangunan, hehehe… :p ). Banyak cara mengumpulkan bahan. Di antaranya, kuasai medan. Pahami dan rasakan bagaimana kondisi lingkungannya, karakter/psikologis warganya (interaksi langsung). Karena dengan berinteraksi langsung, kita bisa lebih merasakan dan apa bila dituangkan dalam tulisan, pembaca dapat pula merasakannya seolah-olah sedang berada di desa tersebut. Lalu, lakukan wawancara langsung dengan warga setempat, tokoh masyarakat setempat, tokoh adat, tetua desa setempat. Kemudian, kepada pemerintah setempat, dinas/instansi terkait dan sebagainya. Lalu, penting juga sebagai data tambahan kita melakukan wawancara dengan warga sekitar desa atau warga lainnya yang tidak berdomisili di desa itu. Kemudian, mencari referensi dari buku-buku, peraturan daerah, koran dan sebagainya.
Setelah bahan lengkap, koral, semen, batu bata, seng dan lainnya itu terkumpul , tinggal pembangunannya. Sebelumnya, tentu kita sudah merancang bagaimana bentuk bangunannya. Setingkat, dua tingkat atau empat tingkat. Jika kita ingin membangun empat tingkat, sudah pasti bahan yang dibutuhkan lebih banyak ketika kita membangun satu tingkat. Maksudnya, kita sudah menentukan betuk tulisan apa yang diinginkan, opini, essai, cerpen atau novel. Setelah kita menentukan bentuk tulisan, kebutuhan bahan  harus kita cukupi. Bagaimana jika di tengah jalan ternyata kurang? Ya, kita cari lagi bahan yang kurang tadi. Kalau lebih? Alhamdulillah, yang penting jangan sampai kurang.

Memulai

Rancangan tulisan sudah, bahan sudah, lalu apa lagi? Memulai. Layaknya kita membangun rumah, bahan-bahan mentah tadi harus mulai diolah, sehingga menjadi bangunan. Walau pun bahan cukup, lengkap, tulisan tidak akan jadi jika kita tidak memulai untuk menuliskannya. Terserah, mau memulainya dari mana, sesuai dengan bahan yang kita punyai.
Contoh 1.  Aku sudah tak bisa lagi melihat bukit-bukit kecil di ujung pematang, seperti dulu. Tatapanku kini membentur tembok bangunan milik orang asing, yang tidak pernah kami lihat bagaimana raut wajahnya. Menurut cerita, pemilik bangunan itu tinggal di Jakarta.
Contoh 2. Budi adalah teman kecilku dulu. Entah di mana dia sekarang? Kami dulu sering bermain di sini. Sampai akhirnya, Pak Arman, guru mengaji kami datang dengan sepeda kumbangnya. Di musholah ini, anak-anak belajar mengaji setiap sore menjelang magrib.
Untuk sampai ke musholah, kami harus melewati pematang sawah. Ya, namanya, anak-anak, Budi kadang jahil, dia suka mendorong temannya hingga terperosok ke sawah. Karena kotor, terpaksa pulang ke rumah ganti pakaian lalu datang lagi ke musholah. Kami bukannya kasihan, justru tertawa terpingkal-pingkal.
Kini semua sudah berubah, tak ada lagi Budi, maupun kawan-kawan yang dulu. Tak ada lagi pematang sawah. Hanya musholah ini yang tak pernah berubah, dari dulu hingga kini.
Contoh 3: Terserah mau ditulis bagaimana,hehehe.
Demikian, tulisan ini bukan mengguri, bukan pula mengajari. Hanya sekedar berbagi pengalaman.


Salam

Penulis: Iman Kurniawan, tinggal di Curup, Provinsi Bengkulu.

Korek



Korek

Oleh : Iben Nuriska

Jam tujuh malam. Listrik padam. Padahal, katanya, PLN berjanji tidak akan melakukan pemadaman tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Kelam. Seperti kekasih ingkar janji. Hidup hilang terang. Tanpa bayang-bayang.
Di  luar, langit kian kejam membentangkan tapak-tapak hitam dan mengancam. Mendesak udara di kolongnya bergerak memutar, perlahan lalu kencang. Nada-nada bencana di awal pancaroba. Melabrak, menabrak dan merusak apa saja yang ada di dekatnya.
Aku tercekat. Semakin merapat. Membenamkan tubuh ke kasur kapuk yang kainnya di sana-sini telah lapuk dan menganga. Membenamkan rasa takut ke dalam genang do’a yang mengalir dari komat-kamit mulutku. Menghiba agar rumah tuaku yang terbuat dari kayu hutan yang murah tidak sampai diporak-porandakan terjangan puting beliung.
Sebagai orang yang percaya adanya Tuhan, saat-saat yang mengancam seperti ini adalah saat-saat dimana aku merasa sangat dekat denganNya. Merasa do’aku tidak kalah khusuk dan makbulnya dengan do’a orang-orang sholeh. Dan inilah puncak keta’atan hamba kepada Pemilik Hidup, hampir tak berjarak dan sangat dekat. Dan pemaafan diriku atas kesalahan dan keingkaran yang selama ini berulang kulakukan adalah awal pengampunan Tuhan atas segala dosa-dosaku. Dan Tuhan pasti mendengar dan mengabulkan do’a orang-orang yang diampuniNya. Aku sangat mempercayai hal itu.
Dan benarlah begitu. Lima menit berlalu. Waktu yang singkat dan terasa sangat lama telah menimbulkan kekacauan di kampungku.
Di sela rintik hujan, aku mendengar tetanggaku mulai hingar. Aku keluar,. Menyaksikan betapa hebatnya angin yang baru saja hilang menumbangkan pohon-pohon besar dan menerbangkan sebagian besar atap-atap rumah-rumah tetangga di depan rumahku. Dan ajaibnya, rumahku sama sekali tidak memiliki tanda bahwa disini baru saja terjadi petaka.
Hujan menderas. Orang-orang bergegas. Kembali ke peraduan masing-masing. Membiarkan sisa-sisa terbiar sampai esok terang tiba dihelat sang fajar.
Aku pun begitu. Kembali ke rumah. Mendapati padatnya kelam. Dan tak seperti biasanya, ketika lampu padam, aku tidak mengumbar umpat untuk petugas jaga di gardu induk PLN. Baru kali ini aku berterima kasih atas pemadaman yang sering dilakukan. Malam ini mereka menjadi pahlawan di hatiku. Seandainya listrik tetap menyala, tentunya akan menambah bahaya.
Aku ingin menyalakan lilin. Biar sedikit bercahaya. Aku mencari-cari dan mencoba mengingat-ingat di mana terakhir aku menaruh korek. Selalu saja begitu, setelah menyulut batang terakhir rokok kesukaanku, aku lupa menempatkannya di tempat yang mudah aku temukan. Keteledoran yang belum mampu kuubah. Dan pastinya, aku sendiri yang susah.
Aku meraba-raba diantara tumpukan kuas dan cat yang bertaburan di lantai ruang tengah rumahku. Menerka-nerka setiap benda keras dan padat. Bergiat untuk segera menemukan yang kubutuhkan. Gedubrak. Aku menabrak tripod penyanggah kanvas. Jatuh menimpa lukisan berlusin yang belum sekalipun terjual, ikut menimbulkan gaduh.
Duh. Dimana tadi kutaruh? Korek bekas pun jadilah. Asalkan geretannya masih memercikkan bunga api. Tanpa lilin tak apa. Sedikit cahaya saja pun jadi. Dan sepercik itu pasti cukup menjadi pemandu aku kembali berlabuh di kasurku yang lusuh. Menghimpun energi melalui bunga-bunga tidur sebelum waktuku layu.
Terpaksa aku merapat ke dinding rumah. Bermatakan hati, berhati-hati masuk menemu pintu masuk bilik. Lega rasanya saat tubuhku mendarat di ranjang. Kini saatnya mempersingkat umur. Tidur.
Dan mataku yang tak terbiasa mengatup pada jam-jam segini menjadi terpaksa kututup. Pikiranku masih fokus pada korek yang gagal kutemukan. Aku membalik-balik tumpukan kejadian yang menumpuk di lemari ingatan. Seingatku, setelah membubuhkan tanda tangan pada lukisan yang kuberi judul kaki kaku hati haru, aku menyalakan rokok sambil menghembuskan kepuasan bersama dengus lelah. Setelah itu, aku bangkit dan mengambil sketsa wajah Anita. Aduh, korek itu ternyata kutinggal di samping lubang tempatku membakar sketsa wajah itu.  
Di pinggir lubang pembakaran itu ternyata aku meninggalkan dua sumber cahaya.
Yang pertama, Anita. Pesona yang kubiar. Keinginannya menghampar dalam pelukku tak pernah kuhirau. Dan dalam ketersesatanku aku tak ingin menyinggahi perkebunan buah yang ia sediakan untuk mengobati dahaga dan lapar yang menjadi kawan sejati dalam kesunyianku sehari-hari.
Aku tak ingin bersamanya meski ia tak pernah menuntut apa-apa. Tapi, tuntutan yang bersarang dalam diriku terlalu kuat untuk kulawan. Aku tak ingin bersama siapapun sebelum aku bisa menyuguh bahagia baginya. Dan akhirnya, dengan sepenuh kesadaran yang ia miliki, Anita pun pergi meninggalkan kenang yang kugoreskan dalam sketsa wajahnya yang kubakar tadi menjelang senja.
Dan sumber terang yang kedua adalah korek. Sumber api yang baru saja kucari-cari. Dan ternyata ikut terbiar seperti hidupku yang tidak lama lagi akan terkapar. Seperti aku meninggalkan korek itu di pinggir lubang, begitu juga aku nanti akan dihantar dan ditinggal menuju lubang keberangkatan.
Aku jadi teringat kawanku di Jogja. Wage Daksinarga, pentolan kelompok teater berbahasa Jawa. Komunitas yang menjadi awal ledakan besar yang membelokkan arah cita-cita dan menjadi sumber masalah terbesar dalam hidup dan keluargaku. Setelah berkenalan dengannya dan mengabdi di sanggar yang ia pimpin, aku meninggalkan bangku kuliah dan merintis jalan sebagai seniman.
Sebelum aku utuh diterima menjadi anggota dari teater yang diawakinya hingga aku menjadi sutradara untuk beberapa kali pementasan, Wage mengingatkanku. Seniman itu bukanlah seperti yang kebanyakan seniman itu sangkakan. Mereka bukanlah api penerang kehidupan. Seniman itu tak ubahnya bagai percikan bunga api dari geretan korek saat kita hendak menyalakannya. Apakah bunga api itu akan menjadi api, tergantung seberapa banyak gas yang masih tersedia dalam tabung korek itu. Lalu, tidak serta-merta api itu berguna. Api akan menjadi seperti semestinya kalau orang yang menyalakan korek itu menggunakannya dengan baik. Dan percikan bunga api saat kita menggeret korek itu juga bisa menjadi penunjuk jalan. Tapi tak lama. Setelahnya gelap akan menyertai.
Setelah mendapat wejangan dari Wage, aku mengerahkan semua daya dan upayaku belajar memahami laku hidup sebagai seorang seniman. Belajar tak kenal lelah, meski harus terpecah dari keutuhan keluarga. Karena tak adanya restu dari kedua orang tuaku, aku harus menjadi nakhoda bagi pelayaranku sendiri. Dan aku belum tahu di mana nanti melempar sauh.
Aku hanyut dalam keasyikan hidup bersama keluarga baru di komunitas itu. Dan bersebab besarnya tantangan dalam diriku untuk menjadi, aku menutup diri dari segala hal yang akan membuatku lalai. Aku menjadi buta tentang cinta kepada wanita. Aku terbiasa berlaku sunyi. Tercerabut dari hidup yang lebih menawarkan tawa dan bahagia. Meninggalkan tugas belajar dari pemerintah daerah tempatku mengabdi untuk menyelesaikan studi Strata Satu agar aku segera naik pangkat, seperti yang sangat diidam-idamkan kedua orang tuaku.
Namun, sekuat-kuatnya karang yang kutanam dari serbuan godaaan hidup orang kebanyakan, pertahananku sering rubuh dan aku menjadi sering menangis. Merintih. Bukan karena kepahitan hidup yang ringkih. Tapi lebih disebabkan rindu pada mata letih mama. Tapi jalan telah kupilih. Berbalik arah berarti kalah. Biarlah dalam do’a kita berjumpa, mama.
Keputusanku merintis rintih sebagai seniman, dari panggung ke secarik kanvas, bukanlah karena dilambungkan angan menjadi api kehidupan. Aku hanya ingin menjadi bunga api dari geretan korekku sendiri bagi hidupku sendiri. Menyuluhku menuju jalan kebenaran.
Dan aku jadi menginginkan korek yang tadi kutinggalkan. Sekarang. Aku ingin menggeretnya. Aku ingin menyalakannya. Membakar sumbu rindu yang telah sekian lama kubenamkan jauh-jauh ke dasar pikiranku. Menjadikan percikan bunga apinya sebagai penunjuk jalanku pulang. Bersimpuh di kaki mama. Menuju Tuhan.

umamotu batubelah, 150410

*Penulis berproses bersama Teater Roeang 28 sejak tahun 2001. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Pesan Wak Diran” (2013). Cerpen-cerpen dan puisi-puisi penulis juga terpublikasi di Riau Pos, Riau Mandiri, Tabloid Sanggam, Kumpulan puisi Riau Pos 2013 “Ayat-ayat Selat Sakat, Kumpuluan puisi penyair muda Riau (2008), Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010).













Sampan Kuweni

Oleh kami, dulu, ia disebut tukang cerita. Bersamanya dan bersama cerita-ceritanya, gerak waktu tak lagi terasa. Tiba-tiba saja sudah petang. Tiba-tiba saja sudah tengah malam. Tiba-tiba saja sudah pagi. Ia tak pernah bercerita dari pagi sampai siang. Pagi sampai siang itulah waktu yang terbaik baginya memanjakan diri. Tidur. 
Di antara kami berlima, mahasiswa penghuni rumah kontrakan di Gang Pisces nomor 32, Jalan Nitikan, Jogjakarta, ia yang paling tua. Kami memanggilnya Bang Yan. Perawakannya kurus, tinggi di bawah rata-rata dengan tato kupu-kupu di pinggang. Katanya, kupu-kupu itu simbol kejantanan. Entah darimana ia punya tafsiran yang berlawanan dengan pendapat kebanyakan orang.
Ia memang berbeda. Juga cerita-ceritanya. Sudah puluhan tahun kami tidak berjumpa, sejak satu persatu di antara kami diwisuda dan pulang ke kampung halaman masing-masing.     
Kalau kau ingin tahu cerita-cerita Bang Yan, sabarlah, nanti aku ceritakan. Sudah sebulan ini aku menuliskan cerita-cerita yang dulu diceritakan Bang Yan, untuk kuceritakan padamu. Dan malam ini, sedang aku memilih cerita yang pertama kali akan kuceritakan padamu, Bang Yan meneleponku. Besok pagi ia tiba di kotaku. Menjadi pemateri dalam seminar yang ditaja Ikatan Pengusaha Muda Riau di Mayang Garden Pallace, Pekan Baru.     
“Kerjaku masih tukang cerita, Ben,” tawanya di telepon. “Dan berbayar, tentu.
Rupanya, kemampuan Bang Yan mengolah dan menyampaikan cerita secara lisan menjadikannya seorang motivator pada berbagai bidang profesi, di banyak kota.
Melalui telepon, kusampaikan niatku menuliskan cerita-ceritanya. Ia menyambut baik niat itu. Ia memintaku menemuinya pada malam usai seminar.           
***
Inilah cerita pertama yang disarankan oleh Bang Yan untuk kuceritakan padamu. Sampan Kuweni.      
Pada hari minggu, Wawan, tidak seperti kebanyakan anak-anak lain di dalam lagu, ia tidak turut ayah ke kota; Wawan turut ayahnya ke hutan. Ia duduk di muka, tapi, bukan naik delman istimewa di samping Pak Kusir yang sedang mengendalikan kuda; Wawan duduk di batang sepeda milik ayahnya di tengah kedua kaki ayahnya yang sedang mengayuh sepeda.
           
Jarak tempuh dari rumah mereka ke hutan ada sepanjang lima kilometer. Jalan yang mereka lewati tidak beraspal. Berkelok-kelok, menurun dan mendaki. Becek dan licin dan berlumpur, di musim hujan.
Hujan semalam tidak menyisakan gumpalan awan. Bintang-bintang masih terlihat bertaburan di bentang langit subuh. Fajar perlahan menyibak pagi. Udara terasa basah. Dingin. Wawan merapatkan punggungnya ke dada ayahnya, menahan gigil. Kedua lengan ayahnya mengepit bahu Wawan, memberi hangat.
Beberapa kali ayahnya terpaksa turun dari sepeda saat melewati jalan yang becek dan licin, Wawan dibiarkannya tetap duduk di batang sepeda, sementara, ayahnya, berjalan menuntun dan menjaga keseimbangan sepeda itu agar tidak jatuh. Beberapa kali roda sepeda itu terperosok ke dalam lumpur dan ayahnya harus mendorong lebih kuat agar roda sepedanya terlepas dari cekalan lumpur itu, sedang Wawan, tidak dibolehkannya turun dari sepeda.
Memasuki bibir hutan, pagi pun terang. Wawan meminta turun dari sepeda dan berjalan dibelakang ayahnya yang turut pula berjalan, mengikuti kemauan Wawan, sambil menuntun sepeda.
Wawan menyibak semak-semak yang masih basah di pinggir jalan. Sesekali ia keluar dari badan jalan, masuk menembus semak-semak itu, menjauh dari ayahnya, mencari buah nasi-nasi dan buah karamunting yang lagi musim berbuah. Ayahnya mengingatkan agar berhati-hati. “Matamu harus awas sebelum kamu masuk semak, ular suka bergelung disitu.”
Wawan selalu waspada. Ia mematahkan batang ubi yang agak besar yang ditemukannya dipinggir jalan untuk menyibak gundukan semak yang rimbun sebelum ia masuk kesitu, memastikan tidak ada bahaya yang mengancam yang tiba-tiba saja dapat menyerangnya. Bila pun ia menemukan ular, Wawan siap menghadapinya. Kata ayahnya, batang ubi itu berbisa, ular bisa mati seketika bila dilecut dengan batang ubi. Kalau kau tidak percaya, jangan coba-coba.
Sampai di dalam hutan, saat ayahnya sibuk mengumpulkan kayu-kayu yang akan dibawa pulang untuk dijual dan dijadikan kayu bakar, Wawan masih disibukkan oleh semak-semaknya. Buah nasi-nasi dan buah karamunting yang mengundangnya pagi itu ikut ke hutan bersama ayahnya belum juga didapatnya. Ada yang ditemukan Wawan,tapi, masih muda dan pahit.

Burung-burung bernyanyi riang. Seriang hati Wawan. Entah siapa yang paling senang. Entah burung-burung itu, entah Wawan. Kedua makhluk itu menyatu dalam kebesaran hutan yang tenang dan damai.
Saat sedang berada di hutan, semangat Wawan menjadi berlipat-lipat. Ia berlari-lari dari satu semak ke semak lainnya. Masih mencari buah nasi-nasi dan buah karamunting. Bilah-bilah sinar matahari yang mulai menembusi rimbunan dedaunan di puncak pohon-pohon hutan tidaklah sampai menyengat di kulit. Udaranya bersih dan segar, sehingga, sebanyak apa pun energi yang terbakar, rasa capek tidak sampai mengantar pada kelelahan.
Wawan menemukan banyak buah nasi-nasi dan buah karamunting. Dari sebanyak yang ia temukan, sebanyak itu pula yang belum matang. Rupanya, buah-buahan belukar itu baru mulai berbuah. Berat kecewa yang dirasakannya andai saja ia tidak melihat sebiji kuweni yang telah matang baru saja jatuh dari tangkainya, tepat beberapa langkah di depannya. Setelah memungut kuweni itu, sambil mencium wanginya, Wawan memandang ke atas. Pohon kuweni itu sedang berbuah lebat.
Girang hati Wawan berlari menuju ayahnya membawa sebiji kuweni. Melompati semak-semak yang tadi dilewati. Memanggil-manggil ayahnya sambil mengacung-acungkan temuannya itu.
Ayahnya baru saja selesai mengikat potongan-potongan kayu yang masih basah menjadi beberapa ikatan, saat Wawan tiba di dekatnya. Wawan memberikan kuweni itu pada ayahnya dan minta ayahnya mengupasnya.
“Nanti saja di rumah, kita makan sama ibumu,” bujuk ayahnya. “Yang ini kita makan disini, Yah. Untuk ibu nanti kucarikan lagi,” rengek Wawan merayu. Ayahnya mengalah dan mengajak Wawan duduk di sebatang pohon besar yang sudah tumbang.
“Nanti, bijinya kita bawa pulang,” kata ayahnya sambil mengupas kulit kuweni itu pelan agar daging buahnya tidak banyak terbuang. “Untuk apa, Yah?” tanya Wawan menelan ludah membayangkan daging buah kuweni yang manis dan berair itu menyentuh kerongkongannya. “Kita tanam,” jawab ayahnya juga menelan ludah. “Betul, Yah, nanti kalau berbuah, kita bisa makan banyak-banyak di rumah, bersama ibu,” senang hati Wawan membayangkan pohon kuweni berdiri di halaman rumahnya.

“Ya,” kata ayahnya. “Dan biji-biji kuweni yang sudah kita makan kita tanam lagi. Kita akan punya banyak batang kuweni. Lalu, batang kuweni yang sudah tua kita tebang dan kita bikin sampan.” Ayahnya membayangkan sampan yang ia buat sendiri dari batang kuweni. “Ayah punya sampan dan tidak perlu mencari kayu bakar,” sambung Wawan membayangkan dirinya mengayuh sampan kuweni itu mengarung sungai bersama ayahnya.
“Pintar. Kamu bisa ikut Ayah pergi menjala dan memukat.”
“Kita pulang bawa ikan yang banyak.”
“Kamu bisa makan ikan tiap hari.”
“Aku jadi tambah pintar. Kata guruku di sekolah, makan ikan tiap hari bisa menambah kepintaran, lho, Yah.”
“Kamu nanti duduk di depan, Ayah mengayuh sampan dari belakang,” senyum ayahnya menirukan cara mengayuh sampan di atas pohon tumbang tempat mereka duduk. “Tidak, Yah, aku yang mengayuh,” bantah Wawan ikut-ikutan menirukan cara mengayuh sampan. Gerakannya lebih cepat dari gerakan yang dilakukan ayahnya.
“Kamu masih kecil. Belum kuat kamu,” suara ayahnya meninggi.
“Tapi, Ayah sudah tua, tenaga Ayah sudah lemah,” seru Wawan tak mau kalah.
“Ayah lebih berpengalaman,” bentak ayahnya.
“Kalau aku tidak belajar, kapan aku bisa mengayuh,?” protes Wawan.
“Pokoknya Ayah yang mengayuh, nanti!” sergah ayahnya.
“Aku!”
“Ayah!” bentak ayahnya.
“Aku!” rengek Wawan menahan isak.
“Kamu tidak boleh membantah Ayah!”
“Aku yang menemukan kuweni itu, berarti aku yang punya sampannya,” isak Wawan.
“Kamu tidak akan bisa bikin sampan. Karena Ayah yang bikin, sampan itu jadi milik Ayah.” Lagi-lagi ayahnya membentak.
“Aku bisa mengupah orang bikin sampan.”
“Uang dari mana?”
“Ayah lihat saja nanti, aku pasti banyak uang,” tangis Wawan meledak. Ia tidak terima bila nanti sampan yang dirasanya menjadi haknya itu dikuasai ayahnya.
“Ayah jahat. Ayah tidak punya hak pada sampan itu,” teriak Wawan di depan ayahnya.
“Apa? Kamu berani melawan aku? Berani kamu bentak-bentak aku?” geram ayahnya membanting buah kuweni di tangannya yang baru separuh kulitnya selesai dikupas.
“Kenapa kuweni itu dibuang?” Wawan berdecak pinggang menentang mata ayahnya. Tak pelak,melihak sikap Wawan yang dirasanya makin kurang ajar, tangan ayahnya melayang mendarat di pipi Wawan. Wawan meraung kesakitan. “Masih kecil kamu sudah berani melawan aku,” hardik ayahnya. “Dasar anak tak tahu berterima kasih.”
Kemarahan ayah Wawan benar-benar memuncak. Darahnya naik ke ubun-ubun. Tak kuasa ia menahan tanganya sekali lagi melayang ke pipi Wawan. Wawan menjerit dan berlari meninggalkan ayahnya yang lantas berkemas, menaikkan kayu-kayu yang sudah diikatnya ke batang sepeda. “Pergi kamu. Jangan kembali lagi ke rumah. Aku tak sudi punya anak durhaka seperti kamu,” teriaknya pada Wawan yang terus menjauh. 
***
“Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, Wawan terus berlari, melintasi sungai, melintasi selat dan samudra, meninggalkan ayahnya, meninggalkan ibunya, meninggalkan kampung halamannya. Wawan berlari sambil mengumpulkan sebanyak-banyaknya buah kuweni, mengumpulkan biji-biji kuweni itu kemudian menanamnya di semua desa dan di semua kota dan di semua negara yang pernah dilewati dan disinggahinya.
Pohon-pohon kuweni itu tumbuh subur dan berbuah lebat. Siapa saja yang menginginkan buah kuweni itu dipersilahkannya mengambil sendiri. Wawan menyarankan kepada semua orang yang memakan buah kuweninya untuk menanam lagi biji kuweni itu. Sedang batang-batang kuweni yang sudah tua ditebangnya, dibuatnya sampan dan diberikannya kepada siapa saja yang membutuhkan. Wawan sudah punya sampan sendiri untuk dikayuhnya sendiri. Ia tak perlu lagi meributkan dengan siapapun siapa yang boleh dan tidak boleh mengayuh sampan itu.
Wawan tidak lagi berlari sejak punya sampannya sendiri. Ia tinggal mengayuh sampannya kemana saja hatinya ingin pergi. Kecuali satu, kampung halamannya. Ia tidak tahu dimana kampung halamannya. Ia tidak tahu dimana tempat ia bisa memeluk ayah dan ibunya yang sangat dirindukannya. Entah, ayah dan ibunya masih hidup.” Pantas saja Bang Yan menjadi motivator yang digandrungi. Gaya tuturnya yang tegas saat menceritakan lanjutan kisah Wawan, yang baru kali ini diceritakannya usai ia membaca ceritanya yang kutulis, sangat membius.
“Apakah sambungan dari cerita itu perlu kutuliskan, Bang?” tanyaku dengan sangat antusias setelah mendengar Bang Yan berkisah.
Sejenak Bang Yan terdiam. Matanya memejam. Lantunan soundtrack film Gie yang dinyanyikan Okta yang tengah diputar pelan di Mayang Garden Cafe seperti merasuk ke dalam dirinya. Usai lagu itu diputar, baru Bang Yan meresponku. “Terserah kau saja, cerita itu jadi punyamu.”
“Baiklah,” kataku.
“Wawan itu, Ben, juga aku, dan kita, adalah perantau yang asing akan kampung halaman,” ujar Bang Yan perlahan seakan sedang memikirkan simpul-simpul dari kisah sampan kuweni dan ingin menyampaikannya seketika. “Kita bisa saja mengakui tanah tempat kita dilahirkan dan dibesarkan sebagai kampung halaman, tapi, kita tidak bisa selamanya mempertahankan tanah yang kita akui sebagai kampung halaman itu. Seketika, kapan saja, atas alasan apa saja, masuk akal atau tidak, dan oleh siapa saja, kita bisa saja diusir.”
“Seperti Sidoarjo, Bang.”
“Seperti Jakartanya orang Betawi.”
“Seperti Indonesia.”
“Ben, yang akan kusampaikan ini penting. Boleh kau tulis dalam cerita-ceritamu, boleh kau simpan saja untuk dirimu.” Bang Yan menyeruput kopinya. “Kita, manusia, dilahirkan dari orang usiran. Sebagai keturunan orang usiran, kita, ditakdirkan menjadi pembangkang. Seperti Wawan, ia membangkang pada pikiran ayahnya yang menganggap sesuatu yang belum ada seperti sudah di depan mata. Pembangkangannya itu membawanya pada kemuliaan hidup, kuweni-kuweni yang ia kumpulkan dan ia tanam dapat memuaskan orang-orang yang memakannya. Dan sampan-sampan dari batang-batang kuweninya berguna bagi banyak orang. Maka, hiduplah di dalam tulisan-tulisanmu, sebagaimana Wawan hidup dalam pikirannya, dan sebagaimana aku hidup dalam cerita-ceritaku.”
Malam ini, rupanya, masih milik Bang Yan, seperti dulu, saat kami tinggal dalam satu rumah kontrakan. Otakku dicucinya habis-habisan. “Ah, Ben, jangan kau tuduh aku sedang mencuci otakmu,” bahak Bang Yan melihat aku manggut-manggut. “Coba kau ingat-ingat lagi sejarah peradaban manusia yang pernah kau baca. Siapa tokoh yang sampai hari ini masih berpengaruh yang bukan pembangkang?”
“Para Nabi, orang-orang suci, filsuf, sastrawan, ilmuwan, siapa lagi, mereka semua pembangkang. Mereka membangkang pada keadaan, mereka membangkang pada sistem yang menindas dan membodohi kaumnya, mereka membangkang pada pemilik sistem itu dan kepada para pendukung sistem itu.”
“Tapi, aku tidak bisa membangkang padamu malam ini, Bang,” tawaku.
“Jangan pula kau membangkang padaku. Membangkanglah pada pikiranmu dulu, yang membuatmu terhalang untuk maju.”
“Jangan pula kau meledek aku, Bang, tersinggung aku, Bang,” kataku tertawa disambut tawa Bang Yan.
“Ben, sebagai seorang pembangkang, seharusnya hidup kita ini seperti Nuh, seperti Wawan, hidup untuk memiliki sampan bagi diri kita dan orang-orang yang mengharapkan keselamatan. Bila banjir bah itu tiba, sampan itulah yang akan melayarkan kita menuju keselamatan pulang ke kampung halaman yang sesungguhnya.” Bang Yang manggut-manggut seperti sedang mengulang kalimat-kalimat yang baru diucapkannya.
“Dihafal, ya, Bang?” ledekku. “Ah, kau, mau tahu saja.” Lalu, kami tertawa lagi.
Setelah kopi kami habis, aku menantang Bang Yan membangkang pada tubuh kami yang sesungguhnya sudah tak kuat lagi menahan angin malam, di usia kami yang mulai senja. Bang Yan menurut. Kami pun meninggalkan Mayang Garden Cafe, berjalan di sepanjang Jalan Sudirman yang mulai lengang.
Ternyata, menjadi seorang pembangkang itu menyehatkan. Selama bertahun-tahun, bila aku terlambat tidur malam atau berada lama di ruang ber-AC atau terkena angin malam, batuk berlendir akibat asma yang kuderita akan bertambah-tambah. Tetapi, malam ini, selagi Bang Yan ada di kotaku, aku tidak akan membiarkan penyakit itu menguasai tubuhku. Aku harus membangkang pada penyakit yang kuderita. Membangkang pada keringkihan tubuh tua ini. Dan pembangkanganku malam ini sangat ampuh. Tidak sekalipun aku batuk dan nafasku sesak selama kami berjalan di kelengangan malam kota Pekan Baru yang berangin. Tak ada lelah menggantung di dalam langkah-langkah kami.
Kau boleh mencobanya, tapi, bila kau tidak percaya, dan kau tidak tahu akan apa dan pada siapa kau membangkang, sudahlah, jangan coba-coba.

Umamotu batubelah, 260813
(Iben Nuriska)


           
           
           
           


2010

Proses dan Malam Puncak Milad  ke 10 

(@Kampus 1 UAD)